Sunday, February 20, 2011

Produk Bajakan Kian Laris

Bagi berita/artikel ini kepada rekan atau kerabat lewat Facebook

BALIKPAPAN– Bersiap-siaplah diserbu cakram optik alias digital video disc (DVD) ilegal yang memuat film-film Hollywood. Itu jika benar-benar media legal tayangan kelas dunia tersebut (baca: bioskop, Red ) terancam ditinggalkan pemasok film asing. Alhasil, menikmati DVD bajakan menjadi alternatif yang paling banyak dipilih para movie-mania .

Kendati beredar kabar, film-film asing di bioskop telah ditarik Motion Picture Associated (MPA) selaku perwakilan perusahaan film asing, teater-teater di Balikpapan belum merasakan dampaknya. Hingga Sabtu (19/2) kemarin, Cinema XXI di e-Walk, Balikpapan SuperBlock (BCB), masih ramai dikunjungi penonton. Sejumlah film asing made in Hollywood pun tetap diputar.

Judul film asing seperti “King Speech”, “The Green Hornet”, “The Mechanic”, “Shaolin”, dan “The American”, masih menghiasi layar teater bioskop ini. “Masih bisa nonton. Silakan lihat sendiri,” kata penjaga karcis di situ. Film yang coming soon alias segera diputar juga masih diiklankan.

Ria Fajariah (26), karyawan swasta di Balikpapan Timur yang ditemui di bioskop ini mengaku, jika hanya memutar film Indonesia, boleh jadi bioskop bakal ditinggalkan. “Yang ada, penonton lari ke film bajakan. Nanti kalau di Indonesia sudah banyak film bajakan, baru dikenakan sanksi lagi. Serem deh kalau semua akses dilarang,” katanya. “Apalagi, menunggu DVD asli biasanya lama setelah film dirilis.”

Sekarang saja, produk bajakan baik dalam bentuk DVD atau (dulunya) VCD cukup diminati masyarakat karena harganya yang murah. Mulai dari kaki lima hingga di mal, pedagang produk bajakan itu marak menjajakan barangnya. Tidak hanya film. Industri musik cukup terpukul dengan kehadiran produk-produk bajakan yang membuat kaset pita tinggal riwayat. Keunggulan kompetitif bioskop adalah karena menawarkan sensasi menonton berbeda dibandingkan DVD bajakan yang kualitas gambarnya di bawah rata-rata.

Elizabeth Ahimsa (17), remaja yang bekerja di Bandara Sepinggan wajar sangat kecewa jika film luar tidak masuk ke bioskop Indonesia. “Apa yang mau ditonton jadinya? Kecuali kualitas film Indonesia sudah setara dengan film luar. Lha , nyatanya, film Indonesia sekarang enggak jelas. Cuma ngasih lihat aurat,” tuturnya. Dia sependapat, jika DVD bajakan menjadi alternatif di kala film luar tidak tayang di bioskop.

Jika porsi film impor di e-Walk lebih besar, tidak demikian dengan Cinema XXI di Balcony City, Balikpapan. “Di sini lebih banyak film lokal,” tutur Sarono, manajer bioskop itu. Dia mengaku, belum memonitor kabar penarikan film-film asing. “Lagipula, kebijakan bioskop ini berpusat di Jakarta. Jika pun kebijakan itu diberlakukan, pastinya secara nasional. Sejauh ini, belum ada dampak yang kami rasakan,” jelasnya.

Di Balcony, XXI memutar film dengan perbandingan tiga film nasional dan satu film asing. “Terkadang, film nasional semua. Cinta produk dalam negeri,” imbuhnya.

Sebelumnya diwartakan, MPA --asosiasi perdagangan nirlaba Amerika Serikat-- mengancam memboikot pasokan film asing di bioskop Indonesia. Ini bentuk protes mereka kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai atas peraturan tentang pajak bea masuk yang diberlakukan per Januari 2011. Peraturan tersebut yakni bea masuk atas hak distribusi.

Selama ini setiap kopi film impor yang masuk ke Indonesia sudah dikenakan atau dibayarkan bea masuk, pajak penghasilan (PPh), dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 23,75 persen dari nilai barang. Negara juga menerima pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 15 persen dari hasil eksploitasi setiap film impor yang diedarkan di Indonesia. Belum lagi pajak tontonan yang diterima oleh pemerintah daerah dalam kisaran 10-15 persen untuk setiap judul film impor yang ditayangkan di bioskop sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Pihak MPA berpendapat kalau peraturan tersebut tidak lazim. Sebab film, bioskop bukan barang dagangan sebagaimana produk garmen atau otomotif. Film merupakan karya cipta yang tidak bisa diperjualbelikan, melainkan pemberian hak eksploitasi atas hak cipta yang diberikan oleh pemilik film terhadap distributor atau bioskop.

Sedangkan di Samarinda, manajemen Cinema 21, Bono Supriyono, menanggapinya dengan santai. “Sebenarnya ini masalah pusat, jadi saya tidak ingin banyak bicara dulu,” kata Bono. Menurutnya, pengunjung  Cinema 21 kemarin normal, seperti hari biasa. “Mungkin karena berita ini baru dan belum banyak masyarakat yang mendengar,” ujarnya.

Bono mengatakan, meski tidak terlalu signifikan, pengaruh ditariknya film asing tentu ada. “Secara umum, film Indonesia memang lebih diminati ketimbang film barat,” katanya. Tapi, tetap saja film barat/asing itu ada peminatnya. Jika ditiadakan, tentu akan mengurangi pendapatan bioskop.

Diakuinya, selama ini manajemen Cinema 21 Samarinda belum pernah menganalisis sejauh mana film barat berpengaruh. “Misalnya membandingkan saat semua studio diputar film Indonesia semua, dengan saat ada beberapa film baratnya,” kata Bono. Makanya, dia tidak bisa memperkirakan berapa kerugian yang akan ditanggung bioskop akibat regulasi itu.

Kecuali jika film yang akan tayang adalah film barat yang berstatus box office . “Tidak usah ditanya kalau itu,” ujarnya sambil tertawa. Dia mencontohkan, saat film berjudul “2012” diputar tahun 2009 lalu, jumlah penonton luar biasa. “Satu jam saja tiket sudah habis. Padahal kami buka di 3 studio,” katanya. Dalam sehari satu studio memutar film 5-6 kali. Antrean juga begitu panjang saat itu. Begitu juga ketika film Harry Potter diputar.

Di sisi lain, beberapa pencinta film bioskop Kota Tepian yang ditemui mengaku kecewa dengan rencana penarikan film asing ini. Hanna Fadhiella, karyawan salah satu operator seluler, sangat menyukai film-film barat. “Kalau di bioskop ada film barat, saya pasti pilih itu,” katanya. Bahkan, dia mengaku sering jauh-jauh ke studio XXI Balikpapan untuk menonton film. “Di sana pilihan film baratnya lebih banyak,” ujar dara berkulit putih ini.

Dengan ditariknya film barat dari bioskop, dia mengaku satu-satunya jalan membeli DVD dan menontonnya di rumah.

Sementara, Mirna Raisa Abraham, siswi SMA 3 Samarinda menyatakan tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menyebabkan penarikan film-film asing di jaringan bioskop di Indonesia.

“Yang ngeramein bioskop kan film-film luar. Kalau itu enggak ada, otomatis bioskop bakal sepi pengunjung,” ujar Mirna. Dia mengaku kurang menyukai film Indonesia. “Kalau ada film barat, aku pasti usahain nonton,” katanya.

Dia berharap pemerintah mengubah kebijakan itu sehingga film asing bisa beredar lagi. “Kalau tidak, nanti bioskop sepi dan tambah banyak beredar film bajakan,” ujar pelajar kelas X ini.

Senada Hanna dan Mirna, Maria Veronica Cinta mengaku tidak setuju dengan peraturan pemerintah tersebut. Dia bahkan berkomentar lebih pedas. “Kalau pemerintah mau nambah duit, jangan dengan cara gitu , tapi kurangi korupsi,” tegas gadis penggesek biola ini.

Apa yang dilakukan pemerintah, menurutnya, adalah mengada-adakan yang tidak ada. “Jadi emosi nih , kan kita yang muda-muda ini yang kena dampaknya,” ujarnya. Padahal, ada film barat yang sedang dinantinya. Yakni, “Harry Potter and The Deathly Hallows part 2”.

Jika keadaan ini berlangsung lama, Cinta mengatakan, cepat atau lambat bioskop seperti Cinema 21 akan tutup. (fel/*/teo/wwn)

Source: http://www.kaltimpost.co.id

No comments:

Post a Comment